The Last Word
Author : Maharani Cho
Shinchung High School, ‘13
“Jadi selain Anne, siapa lagi yang tidak mengerjakan tugas yang
kuberikan?” ucap seorang wanita sembari menyandarkan tubuhnya pada
pinggiran meja dengan tangan menyilang di depan dada, menatap
seluruh siswa di kelas itu yang kemudian lagi-lagi terhenti pada seorang
gadis yang tengah berdiri sembari menundukkan kepala.
Gadis yang tidak mengerjakan tugasnya.
Seluruh siswa diam tak bergeming dan suasana menjadi sangat
canggung saat seorang bocah laki-laki yang dengan santainya bangkit
dari duduknya dan menatap mantap wanita yang menjadi gurunya itu.
Gadis itu sedikit menolehkan kepalanya, bermaksud ingin menatap
seseorang yang bernasib sama sepertinya. Namun matanya terbelalak
saat mengetahui siapa seorang yang dimaksud.
“Park Chanyeol dan Anastasia Lee, kalian boleh meninggalkan kelasku
saat ini juga.”
Gadis itu menghela napas sesaat dan kemudian menaruh dagunya pada
salah satu tangannya lalu mulai pada pekerjaan barunya. Mebolak-balik
buku di hadapannya tanpa berniat sedikitpun membacanya.
Konsentrasi gadis itu sedikit terganggu saat sebuah tangan menarik kursi
di depannya dan membuat gadis itu mendongak. Hampir saja ia tersedak
ludahnya sendiri saat seorang pemilik tangan itu tersenyum kearahnya
dan yang kemudian memposisikan tubuhnya untuk duduk tepat di depan
gadis itu.
“Mencoba meratapi nasibmu, em?”
Gadis itu berkerut bingung dan kemudian kembali menatap bukunya
sembari menghela napasnya panjang.
“Usahaku semalaman mengerjakan tugas Kimia itu, bahkan membuatku
sengsara hari ini,” ucapnya tanpa menatap Chanyeol yang masih
menatapnya.
“Itu karena kau yang bodoh.”
Gadis itu mendongakkan kepalanya cepat dan menatap Chanyeol tajam.
“Mworago?!”
Chanyeol terkekeh pelan dan kemudian mengacak-acak rambut gadis
itu.
“Tidak salahkan? Kau bodoh, jika kau sudah mengerjakannya kenapa
tak kau bawa.”
Gadis itu mengatup mulutnya cepat, kemudian mendengus sebal dan
kembali menatap lembar buku yang ia tinggalkan beberapa detik lalu.
“Sesukamulah!”
Chanyeol terseyum puas dan kembali menatap wajah serius gadis itu.
Entah kenapa, hanya menatap wajah gadis itu selalu membuatnya
tenang. Dan sekarang dengan jarak sedekat ini membuat kerja
jantungnya bekerja semakin cepat.
“Lalu bagaimana denganmu? Seorang jenius sepertimu bisa tak
mengerjakan PR. Kurasa kiamat akan datang sebentar lagi,” ucap gadis
itu dengan nada menyindir, membuat kekehan panjang keluar dengan
santainya dari mulut kecil namja itu dan semakin menaikkan kadar
emosi Anastasia yang sudah mencapai ubun-ubun, sembari menatap
tajam ekpresi konyol yang Chanyeol tunjukkan.
Sadar tengah diperhatikan, ia mulai menghentikan tawanya dan kembali
menatap manik mata gadis itu. Dan lagi-lagi nenbuat jantungnya bekerja
diambang normal.
“Kuanggap itu sebagai pujian. Aku mengerjakan tugasku.” Gadis itu
menaikkan sebelah alis matanya, menunggu lanjutan kalimat yang akan
Chanyeol ucapkan.
“Setidaknya aku masih punya perasaan iba saat melihatmu sendirian
keluar kelas. Jadi, sebagai teman yang baik, ku simpan pekerjaanku
kedalam laci dan ikut berdiri bersamamu.”
Mata gadis itu membelalak lebar. Iba katanya?!. Batin gadis itu dalam
hati.
“Cih. Aku tak butuh rasa ibamu,” umpat gadis itu dan lagi-lagi tawa
kecik muncul dari namja itu dan membuat Anne mendengus.
“Hei, hari ini pulang bersama. Eottae?” tawar Chanyeol dan gadis itu
dengan muka datarnya menatap namja di depannya dengan kedua
telapak tangan memangku dagunya.
“Sekeras apapun usahaku menolaknya, kau juga tetap akan
menyeretkukan, Chanyeollie,” ucap gadis itu dengan penuh tekanan dan
membuat segaris senyum sumringah tergambar dengan jelas di wajah
namja itu.
Suara dentuman bola itu jika sudah keluar selalu membuat gadi itu
merasa pusing. Bagaimana tidak, setiap suara itu keluar para yeoja
selalu meneriakinya dan terdengar begitu nyaring di setiap koridor
sekolah, dan begitu nyaring hingga serasa ingin memecah gendang
telinga.
Jika bukan namja itu yang memintanya, mungkin sekarang ia sudah tidur
dengan nyaman di atap sekolah. Namun dengan dasar ‘teman yang
baik’, ia rela berdesakan diantara gadis-gadis yang dengan lantangnya
meneriaki namanya.
“Park Chanyeol!!!”
Begitu seterusnya semakin membuat gadis itu merasa kesal. Hingga
muncul niatnya untuk berjalan mundur dan berbalik pergi dari
kerumunan. Namun belum ada dua langkah ia menggerakkan kakinya,
sebuah sorot mata yang menatapnya tajam membuat tubuhnya kaku
seakan menurut pada tatapan tajam itu, tatapan siapa lagi jika bukan
tatapan Park Chanyeol.
Saat di dalam arenapun namja itu selalu meluangkan waktu untuk
memastikan gadis itu ‘masih’ berada di tempatnya, membuat gadis itu
mendengus sebal dan kembali pada posisi awalnya.
Dan saat peluit panjang itu berbunyi, sebuah helaan napas panjang itu
meluncur dengan indahnya dari mulut Anastasia dan segera ia
langkahkan kakinya mendekat ke lapangan dengan mata tertuju pada
pemuda yang tengah asik ber-high five dengan teman-temannya.
Namja yang kemudian menatapnya dengan seulas senyum manis
terpampang dengan jelas di wajah itu, membuat jantung Anastasia Lee
sedikit manaikkan tingkatan kerjanya menjadi sedikit lebih cepat.
Masih mempertahankan tatapan datarnya, gadis itu mengulurkan sebuah
tempat minum pada Chanyeol. Namun belum sempat namja itu
meraihnya, sebuah cekalan di lengan kanannya membuat dua orang itu
tersentak dan menoleh secara bersamaan pada seorang gadis yang tengah
tersenyum lebar kearah Chanyeol, membuat Anne semakin sebal
mendapati tingkah yeoja ‘agresif’ itu.
“Oppa, selamat!” ucap gadis itu riang dan secara sepihak menarik
Chanyeol menjauh dari gadis itu. Membuat Anne mendengus sebal dan
memutar bola matanya, lalu hendak berbalik namun terhenti saat suara
seorang pria mengajaknya bicara.
“Kau baik sekali Anastasia-sshi. Yang kau bawa itu, bisa aku
meminumnya?”
Gadis itu berbalik kemudian menatap pria itu dan tersenyum simpul.
Dengan ragu ia ulurkan botol itu kearah namja di depannya. “Kau mau?
Ambillah.”
“Yak, Byun Baekhyun. Itu bagianku!”
Dengan cepat Chanyeol meraih botol itu, membuat Anne sedikit
tersentak.
“Ambil ini,” ucap Chanyeol sembari mengulurkan sebotol jus pemberian
gadis ‘agresif’ tadi.
“Aku tak terlalu menyukai jus,” ucap Baekhyun sedikit protes terhadap
tingkah Chanyeol.
“Buang saja kalau begitu,” jawab namja itu dengan enteng, membuat
gadis itu sedikit tersenyum. Sedikit, bukan berarti namja itu tak
melihatnya, namun buru-buru ia tengguk minuman dalam botol itu
sampai habis.
“Hah, minuman sesegar ini ingin kau berikan pada yang lain.”
“Aku… tak berniat memberikannya padamu,” ucap Anne yang
kemudian berbalik dan berjalan pergi meninggalkan Chanyeol yang
tersenyum puas.
“Terus-teruslah berbohong, Nona.”
Sedari tadi gadis itu hanya memutar garpu digenggamannya sembari
menatap tanpa mau memakan makanan di depan matanya. Entah apa
yang membuat gadis itu tak bersemangat, sejak dirinya melihat yeoja
agresif tadi membuat moodnya seketika hancur. Dan pada akhirnya ia
akan melampiaskan pada sesuatu yang mendekatinya.
“Kantin sangat penuh, boleh aku duduk disini?” ucap seorang yeoja
sedikit hati-hati, namun bukannya mengindahkan ucapan sopan yeoja itu
Anne malah menatap datar gadis di depannya.
“Jadi, apa aku harus pindah dari tempatku?”
Gadis itu terkesiap dan kemudian menggeleng cepat. “Ah, biar aku saja
yang pindah,” ucapnya seraya pergi meninggalkan Anne yang
mendengus pelan.
Benar-benar menakutkan saat moodnya sedang buruk, membuat
siapapun yang ada di dekatnya mau tidak mau harus menyingkir dengan
teratur untuk beberapa saat.
Gadis itu sedikit mendorong piringnya menjauh dan kemudian
merebahkan kepalanya pada meja dengan mata terpejam, berharap
moodnya akan membaik setelahnya.
Namun belum ada lima menit ia pejamkan mata, dirasakannya seseorang
mendekatinya dan duduk di sampingnya, membuatnya terpaksa
membuka matanya kembali.
Namun lagi-lagi dengusan yang keluar dari mulut gadis itu dan dengan
cepat ia ubah arah pandangnya dan memutar kepalanya. Mendapati
seseorang yang menjadi temannya sekaligus teman setia seseorang yang
sebenarnya tak ingin ia temui saat ini.
“Byun, bilang padanya aku sedang tak ingin menatap wajahnya,” ucap
gadis itu pada Baekhyun, membuat namja itu mengernyit bingung dan
kemudian menatap Chanyeol yang juga bingung mendapati tingkah
gadis itu.
“Aku yakin kau mendengarnyakan?”
Chanyeol semakin mengerutkan kedua alisnya tanpa melepas kontak
matanya pada kepala gadis yang membelakanginya itu.
“Yak, kau.. baik-baik saja?”
“Byun, bilang padanya aku sedang tidak ingin bicara padanya,” ucap
Anne lagi membuat mulut Chanyeol menganga lebar, terkejut dengan
respon yang gadis itu berikan.
“Yak Byun Baekhyun, tanyakan padanya, apa ini hari pertamanya
menstruasi?” ucap Chanyeol dengan nada kesal, membuat Baekhyun tak
dapat menahan tawanya dan pada akhirnya tawa keras itu muncul juga,
membuat gadis itu bangun dari duduknya dan tanpa menatap kedua
orang disebelahnya ia pergi dengan setengah berlari meninggalkan dua
orang itu.
“Kau semakin memperburuk moodnya, Yeollie.”
Sudah satu minggu ini gadis itu menjauh dariku, berusaha
mendiamkanku tanpa alasan. Menghindariku sepertinya, tapi sama sekali
aku tak tahu penyebab dia melakukan ini padaku. Jujur akhir-akhir ini
sangat sulit untuk melihatnya. Hanya sebatas di dalam kelas dan itupun
sangat sulit untuk mengajaknya bicara.
Entah apa yang ia lakukan hingga ia jarang menampakkan diri di
hadapanku. Sudah kucoba untuk mencarinya, bahkan ia tak pernah ada
di penjuru tempat manapun yang biasa kami sambangi. Memiliki tempat
persembunyian yang baru sepertinya.
Sampai detik inipun aku belum bicara atau bahkan menatapnya, wajah
datar itu yang selalu ia tunjukkan. Menambah kesan dingin pada gadis
itu dan membuatku semakin, rindu padanya.
“Pertandingan akan dimulai 10 menit lagi. Siapa yang kau tunggu?”
Setidaknya, harapanku gadis itu dapat melihat pertandingan ini akan
terwujud.
“Dia ada disana, diantara gadis-gadis yang meneriaki namamu.”
Kuikuti arah pandang Baekhyun. Dan benar saja, gadis itu masih dengan
tatapan dinginnya. Masih dengan wajah datarnya, menatapku.
“Kajja.”
“Aku mencarimu, kau tahu?”
Gadis itu menoleh cepat menghadap seseorang mengajaknya bicara, lalu
kemudian menghembuskan napasnya pelan dan kembali menatap buku
yang ada di pangkuannya.
“Helaan napas itu yang selalu kau keluarkan setiap kau melihatku. Ada
apa?”
Gadis itu menggeleng cepat tanpa menatap Chanyeol yang tengah kesal
dengan respon yang ia berikan.
“Kau sedang menghindariku, ya?”
Gadis itu menghela napasnya berat dan kemudian menggeleng sesaat.
“Bisakah kau hilangkan kebiasaan buruk barumu itu?! Dan ada apa
denganmu, kenapa begitu anti untuk menatapku.”
Dengan cepat gadis itu menolehkan kepalanya menatap pria di
sebelahnya namun detik berikutnya ia palingkan lagi, mencoba kembali
memfokuskan dirinya pada buku di hadapannya.
“Aku, merasa kesepian karna nyaris seminggu penuh kau tak pernah
bersamaku. Kau menghindariku tanpa memberi alasan. Kau, seakan
memusuhiku saat aku mendekat. Ingin sampai kapan?”
Anne menaikkan kedua bahunya, dan Chanyeol hanya menghela
napasnya pelan.
“Rencananya, aku ingin bicara banyak padamu…”
Anne menoleh kearah Chanyeol dan sedikit mengernyitkan kedua
alisnya.
‘Kurasa, aku keterlaluan.’ Batinnya dalam hati. Sedikit rasa khawatir
menyusup ke dalam hatinya saat menatap wajah datar dan tatapan sendu
yang namja itu perlihatkan. Seakan ia sedang memikul beban yang
sangat berat.
Ingin rasanya ia membagi bahunya untuk namja ini seperti hari-hari
dimana mereka merasa berat. Namun untuk kali ini rasanya sangat
canggung. Entah apa yang membuat dirinya merasa… cemburu pada
gadis-gadis yang ada disekitar sahabatnya ini.
Bahkan sekarang dirinya bisa mengaku. Cemburu, konyol bagi seorang
dirinya yang begitu dingin. Dia menyukai namja yang menjadi
sahabatnya saat ini.
“Tapi sepertinya harus kusimpan lagi,” sambung Chanyeol yang
kemudian menatap Anne dan tersenyum lembut.
“Kau… bisa memakainya jika kau merasa perlu.”
Sejenak senyum lebar terukir dengan jelas pada wajah namja itu saat
dengan pelan gadis itu menepuk bahunya sendiri.
Dan tanpa berpikir lebih lama karena menurutnya kesempatan tak datang
dua kali, ia rebahkan kepalanya pada bahu gadis itu. Mulai menikmati
kenyamanan yang gadis itu berikan.
‘Memang ini yang paling tepat.’ Batinnya dalam hati. Dan lagi, untuk
pertama kali dalam satu minggu ini dirasakannya kembali debaran
jantungnya, membuatnya merasa kembali seperti dirinya.
“Bahkan aku sangat merindukan tempatku ini. Jika dipikir, kapan
terakhir kali aku menggunakannya?”
Tanpa gadis itu sadari, bahkan ia juga ikut mengingat-ingat. Membuat
Chanyeol terkekeh sendiri merasakan gerak gerik gadis itu.
“Molla,” ucap gadis itu pada akhirnya dan pura-pura kembali menatap
buku bacaannya, tapi faktanya konsentrasinya pecah karena aroma yang
menguar dari tubuh namja ini. Aroma yang ia suka yang nyaris
seminggu ini tak ia cium.
“Tak bisa kubayangkan, bagaimana jadinya aku tanpamu..”
Gadis itu sedikit tercengang saat kalimat yang tak terduga itu keluar dari
mulut Chanyeol. Membuat jantungnya kembali tak terkontrol hingga
dirasakan panas dalam tubuhnya.
“Faktanya, aku sangat merindukanmu.”
Tatapan tajam gadis itu tak teralihkan dari dua objek dihadapannya. Dua
orang berbeda gender itu tengah tertawa lepas dengan bola basket
digenggaman sang pria.
“Bukan seperti itu cara mendrible bola,” ucap Chanyeol tanpa
menghilangkan tawanya, sedangkan sang gadis hanya memperhatikan
tanpa melepas kontak matanya pada namja itu.
“Cukup gunakan keempat ujung jarimu. Hanya diujung, seperti ini.”
Gadis itu mengangguk paham saat dengan lincah namja itu mendribel
bola di gengggamannya tanpa menyadari sosok Anne yang tengah
memperhatikan gerak-gerik dua orang itu.
“Kau datang?!”
Anne sedikit tersentak dan kemudian menoleh kebelakang, mendapati
Baekhyun yang tengah tersenyum padanya dan ia membalas senyum itu
dan mengangguk pelan. Namun kemudian gadis itu menghela napasnya
panjang.
“Wae?” tanya Baekhyun, dan gadis itu menggeleng lemah, kemudian
mengahampiri Baekhyun.
“Kulihat, moodmu tak seburuk satu minggu yang lalu.”
Gadis itu tertawa pelan.
“Apa aku terlihat sangat kekanakan?”
“Bukan aku yang mengatakannya.”
Gadis itu menyungutkan bibirnya, membuat Baekhyun tertawa dan
kemudian mengacak-acak pelan rambutnya.
“Benar begitu?” ucap gadis itu dan Baekhyun hanya menaikkan kedua
bahunya.
“Itu wajar…”
Gadis itu mengernyit, menunggu kalimat yang akan keluar dari mulut
namja di depannya.
“Wajar jika dirimu itu kekasihnya, atau minimal kau… menyukainya,”
lanjut Baekhyun dengan tatapan mengerling membuat mata gadis itu
terbelalak lebar dan wajahnya sedikit menghangat saat mendengar
ucapannya, membuat Baekhyun terkekeh geli saat melihat wajah gadis
itu.
“Aigooo, wajahmu sudah seperti kepiting rebus. Benar kataku?” goda
Baekhyun lagi dan entah kenapa gadis itu merasa malu.
“Berhenti menggodaku, Byun!” sergah Anne dan membuat mereka
tertawa bersama.
“Manis sekali..”
Dua orang itu menoleh bersamaan saat seorang yang tanpa henti
menghentak-hentakkan bola di tangannya. Membuat Anne sedikit
mengernyit tanpa mau menatap namja itu. Chanyeol, siapa lagi?
Gadis itu menghela napasnya saat menyadari bahwa gadis yang
membuatnya ‘cemburu’ tadi sudah menghilang. Namun rasanya benar-
benar sesak saat mata kecil itu menatapnya tajam.
Sejenak gadis itu berdehem kecil untuk menimalisir rasa canggungnya,
kemudian memasang muka datarnya lalu menatap Baekhyun.
“Jangan lupa, Lee sonsaengnim memintamu menemuinya saat bel
istirahat ke dua,” ucap gadis itu berbohong dan seakan mengerti maksud
gadis itu Baekhyun menganggukkan kepalanya.
Gadis itu menatap sejenak Chanyeol yang masih menatapnya intens
sebelum ia melangkahkan kakinya menunggalkan dua orang itu.
Setelah menatap kepergian Anne, namja itu kini menatap tajam
sahabatnya.
“Wae?” tanya Baekhyun tanpa dosa.
“Yang kalian bicarakan tadi,” ucap Chanyeol dengan nada
mengintimidasi dengan tetap mempertahankan tatapan tajamnya,
membuat Baekhyun sedikit bergidik menatap wajah Chanyeol namun
tak membuatnya merasa takut untuk menggoda sahabatnya itu.
“Aku mengajaknya berkencan dan dia menerimanya dengan senang
hati,” ucap Baekhyun santai dan sukses membuat mata Chanyel
terbelalak lebar.
Ingin rasanya Baekhyun tertawa melihat respon Chanyeol saat ini,
namun buru-buru ia tahan karena ingin melihat respon selanjutnya yang
akan namja itu tunjukkan.
“Dan aku akan membuatnya menjadi yeojachinguku.”
Rahang Chanyeol mengeras seketika dan alisnya berkerut kasar saat
kata-kata yang membuat kupingnya ‘panas’ itu keluar dari mulut
Baekhyun, ingin rasanya ia menyumpal mulut itu.
“Aku akan membunuhmu terlebih dahulu sebelum kau lakukan itu.
Jangan sentuh barang yang menjadi milikku, Byun Baekhyun,” desis
Chanyeol tajam dan membuat Baekhyun tak dapat menahan tawanya.
“Mengerikan sekali, Park Chanyeol.”
Suara hentakan bola begitu nyaring terdengar di telinga Anne, membuat
gadis itu sedikit mngencangkan cengkeraman tanganngya pada tas
punggungnya dan sedikit mencoba melirik sejumlah siswa yng tengah
asyik memainkan bola keras itu. Untuk apa lagi jika bukan untuk
melihat namja yang akhir-akhir ini ia hindari.
Namun gadis itu segera menghela napasnya ,kembali menundukkan
kepala sembari terus berjalan karena yang ingin ia lihat ternyata tak ada
pada gerombolan anak-anak itu. Hingga sebuah benturan di kepalanya
membuatnya kelimpungan dan akhirnya terjatuh.
“Yak, Anastasia Lee!”
Kepalanya pusing seketika bersamaan dengan seseorang yang
menghampirinya dan memangku kepalanya. Park Chanyeol. Namun
pusing yang dirasakannya menghilang saat amarah tiba-tiba
merasukinya, ia bangkit dengan posisi duduk.
PLAK~
Tangan itu dengan ringannya mendarat mulus di pipi Chanyeol,
membuatnya sedikit berjengit sembari menatap gadis itu tak percaya.
Dengan cepat gadis itu bangkit dan mulai melangkahkan kakinya
meninggalkan lapangan.
Sedikit membuat Chanyeol terusik dari lamunan sesaatnya saat kikikan
beberapa orang siswa yang tadi dengan sengaja melempar bola itu
hingga mengenai kepala Anne, menatapnya tajam seolah ingin memberi
perhitungan.
Namun gadis itu yang menjadi prioritasnya saat ini.
“Kau tahu, bukan aku yang melakukannya.”
Gadis itu tak bergeming dan tetap berjalan tanpa peduli namja itu yang
terus mengekorinya dengan celotehan-celotehan yang sama sekali tak ia
dengar.
“Kumohon dengarkan aku!”
Chanyeol dengan cekalan tangannya mencengkeram erat pergelangan
tangan gadis itu. Membuat gadis itu dengan mudahnya berbalik dan
sedikit membuatnya menyentuh dada namja di depannya. Gadis itu
mendongak cepat, menatap tajam Chanyeol dan mencoba melepaskan
cengkramannya.
“Sadar dengan apa yang kau lakukan?!” bentak Anne dan membuat
Chanyeol menatap gadis itu sendu.
“Berhenti menggangguku, atau aku tidak akan sudi menatap wajahmu!!”
ucap gadis itu tanpa rasa ragu dan terdengar begitu menyakitkan saat
namja itu mendengarnya.
Gadis membalikkan badan lalu berjalan menjauh tanpa berusaha
berbalik menatap Chanyeol yang tengah tercengang mendengar
pernyataannya.
Mood gadis itu benar-benar buruk hari ini, namun rasa bersalah yang
menyelimutinya tak membuatnya merasa ‘harus’ meminta maaf pada
Chanyeol. Malah itu akan semakin memperburuk moodnya dengan
fakta-fakta negative yang mucul dalam otaknya.
Seseorang meletakkan susu dihadapannya dengan sebuah note yang
menmpel manis pada susu kotak itu. Diraihnya susu itu mulai membaca
tulisan bermimik yang ada di note itu, sedikit mengernyitkan ke dua
alisnya saat membaca lembar pertama kertas kuning itu.
‘Aku tidak akan minta maaf.’
Tulisan bermimik wajah marah.Lalu dibukanya lagi lembar selanjutnya.
‘Kau jelek saat marah.’
Kali ini dengan mimik wajah marah disertai dengan juluran lidah.
Kembali ia buka lembar terakhir note itu. Tulisan bermimik wajah
santai, namun gadis itu sedikit tercengang saat membacanya.
‘Seseorang yang membuatmu merasa sakit itu sudah kuberi pelajaran.’
Kemudian dengan gerakan cepat, ditatapnya seseorang yang
memberinya susu kotak itu. Seseorang dengan luka lebam di beberapa
sudut wajahnya. Wajah Park Chanyeol.
Gadis itu tersentak saat menyadari bahwa namja itu terluka. Namja
dengan tatapan dingin pada muka datar yang kentara ia tunjukkan pagi
ini, membuat aura hitam orang itu secara tidak langsung membuatnya
benar-benar merasa bersalah.
Tak ada sepatah katapun yang biasanya namja itu keluarkan hari ini,
hanya tatapan dingin itu yang sangat kentara pada wajah yang penuh
luka itu, membuat rasa khawatir gadis itu semakin menjadi.
“Dia kenapa?”
Baekhyun menoleh cepat dan menatap wajah gusar Anne.
“Kau tidak tahu? Tadi pagi dia berkelahi dengan Luhan karena
membelamu.”
Gadis itu menoleh pada Baekhyun cepat. Alisnya bertaut mendengar
ucapannya.
“Kau salah paham. Yang melemparmu dengan bola itu Luhan, bukan
Chanyeol.”
“Be.. benarkah?”
Baekhyun mengangguk kecil sembari terus menatap papan tulis di
depannya, memandangi tubuh Chanyeol yang tengah mengerjakan tugas
yang guru berikan di papan tulis.
“Oh tidak..” ucap Anne sembari menelangkupkan kedua tangannya pada
bangku dan menyandarkan kepalanya pada kedua tangannya.
“Nona Lee, kau bisa mengerjakan soal nomor dua sekarang juga.”
Gadis itu terperanjat dan menatap pria paruh baya di depannya dengan
terkejut.
“Kupikir kau sedang bersantai hingga kau tak memperhatikan yang
kubicarakan beberapa waktu yang lalu.” Gadis itu menelan ludahnya
pelan.
“N.. nne, Sonsaengnim.” Dengan berat hati ia tolehkan kepalanya untun
menatap Baekhyun yang hanya menaikkan kedua bahunya lalu perlahan
berjalan kedepan mendekat pada papan tulis.
Dilihatnya sekilas wajah dingin Chanyeol yang tetap fokus pada
pekerjaannya, lalu gadis itu menghela napasnya sejenak dan kemudian
memulai pekerjaannya.
Bel pulang terdengar begitu nyarin membuat sorak sorai kegirangan para
siswa terdengar begitu keras di telinga Anne, membuat gadis itu
mendengus pelan dan mulai mengemasi barang-barangnya.
Lagi-lagi ia mencoba melirik namja yang duduk tak jauh darinya, namun
buru-buru ia kembali menatap tasnya saat namja itu menatapnya intens,
membuatnya sedikit bergidik mendapati tatapan yang tak pernah namja
itu berikan untuknya.
Bawaannya sedikit berat hari ini, jika saja gurunya tak menitipkan buku
tugas teman sekelasnya mungkin dia akan berjalan jauh lebih cepat
tanpa merasa berat karena tumpukan buku di tangannya saat ini.
“Berikan padaku.”
Gadis itu tersentak saat namja itu mengahmpirinya, mencoba merebut
tumpukan buku yang di tangannya. Namun buru-buru ia tepis dan sedikit
mempercepat langkahnya.
Usaha namja itu tak berhenti sampai disitu. Ia percepat langkahnya
mencoba mendahului langkah dengan gadis itu dan mengambil paksa
tumpukan buku itu dari genggaman Anne.
“Kau pikir aku akan membiarkanmu kerepotan, em?” ucap namja itu
dengan senyuman tipis terlihat dengan jelas di wajah gadis itu, membuat
Anne gugup dan tak berani menatap mata namja di depannya yang mulai
berjalan mendahuluinya.
“Gomawo,” ucap gadis itu pelan tanpa berani menatap Chanyeol. Namja
itu terkekeh pelan dan mengacak-acak singkat rambut gadis itu,
membuat gadis itu mendongak menatapnya dengan tatapan tak percaya.
“Wae?”
Gadis itu menggeleng cepat dan tersenyum kecil.
“Maaf,” ucap gadis itu pelan tanpa melepas tatapannya pada namja itu,
sudah berani menatap lama-lama sepertinya. “Untuk apa? Kau ada salah
denganku?”
Gadis itu mentap Chanyeol sendu.
Alis gadis itu mengernyit, tatapan sendu itu semakin kentara di
wajahnya. Tatapan matanya tak teralihkan dari objek yang membuatnya
khawatir seharian ini, ditambah dengan luka di beberapa bagian wajah
yang selalu membuatnya tenang.
Tangan gadis itu reflek terjulur hendak menyentuh luka sobek pada
sudut bibir kecil yang selalu tersenyum dengannya. Menyentuh sedikit
hingga desisan dari mulut itu keluar bersamaan dengan kepala namja itu
yang secara reflek tertarik kebelakang.
Sudut mata gadis itu berkedut panas saat desisan itu muncul dari
mulutnya, membuat bulir air yang ia tahan tak dapat menuruti
perintahnya lagi dan dengan santainya turun dan kemudian dilanjutkan
oleh bulir-bulir yang lain.
“Aku baik-baik saja,” ucap Chanyeol sembari mengusap pelan air mata
gadis itu tanpa menghilangkan senyumnya.
“Maaf,” ucap gadis itu lagi dan Chanyeol hanya mengangguk cepat.
“Kau baik-baik saja?”
Gadis itu menggeleng lemah terus menunduk tanpa berani menatap mata
itu lagi. Terdiam sesaat hingga dirasakannya sebuah tangan melingkar
pada punggungnya, menariknya perlahan untuk mendekat dan
dirasakannya tangan yang lain juga ikut mendekapnya erat. Tangis gadis
itu pecah dalam dekapan Chanyeol.
“Maafkan aku.”
Gadis itu menggeleng cepat.
“Berjanji padaku, kau akan selalu baik-baik saja ada atau tanpaku. Dan
hilangkan kebiasaanmu menghela napas di depanku, arra.”
“Yak, kau bicara seakan kau akan meninggalkanku,” ucap gadis itu
tanpa menghentikan tangisnya, membuat kekehan panjang meluncur dari
mulut namja itu. Kekehan yang gadis itu rindukan.
“Bagaimana jika benar?”
Gadis itu melepas pelukannya paksa dan menatap tajam Chanyeol.
“Aku akan membencimu seumur hidupku jika kau berani
meninggalkanku.”
“Haahh, aku penasaran,” goda namja itu dan membuat Anne semakin
kesal.
“Ingin berapa hari lagi aku menjauhimu. Kau pikir aku tak bisa lakukan
itu!!”
Gadis itu menaikkan nada suaranya, membuat Chanyeol terkekeh geli
menatap mimik wajah Anne.
“Jika pada akhirnya kau menangis dan memelukku, kurasa tidak begitu
buruk.”
“Yak, Park Chanyeol!!!” teriak gadis itu, selalu membuat kadar
emosinya benar-benar naik saat berhadapan dengan namja ini dan
membuat tawa Chanyeol meledak. Tapi tetap saja, tawa dan rupa namja
ini tetap ia butuhkan saat ini, mungkin juga dalam jangka waktu
kedepan.
“Jadi kalian sudah berdamai?”
Anne menyeringai saat Baekhyun menatapnya. Namja itu hanya
menggelengkan kepala saat seringaian itu muncul dari bibirnya.
“Cih, tidak pernah bisa bertengkar malah pura-pura bermusuhan.
Manusia abnormal seperti kalian mana bisa tidak saling membutuhkan.
Berlagak bisa menanganinya sendirian, nyatanya…”
Omongan Baekhyun mungkin akan lebih panjang jika gadis itu tak
membekap mulutnya, membuatnya harus berteriak meminta ampun agar
gadis itu mau melepas tangannya.
“Terus saja bicara tuan Byun, dan aku tak akan berhenti untuk
membekap mulutmu,” ucap gadis itu bersamaan dengan tangannya yang
mulai mengendurkan bekapannya.
“Yak!” teriak Baekhyun dan membuat gadis itu tertawa.
“Berhenti tertawa!”
“Hei jujur saja, kalian pacarankan?”
Tawa gadis itu berhenti. Semburat merah menghiasi tulang pipi gadis
itu, malu. Mungkin iya, tapi nyatanya, mereka hanya bersahabat. Sampai
kapanpun. Sepertinya.
Gadis itu menghela napasnya dan memukul pelan kepala Baekhyun.
“Yak!”
Gadis itu memutar kedua bola matanya sembari menaikkan kedua
bahunya.
“Kita hanya berteman,” ucap gadis itu santai.
“Cih, rona merah di pipimu tak bisa membohongiku, Nona Lee.”
“Mwo?!”
“Semua akan baik-baik saja. Nyonya menyuruhmu untuk pindah ke
Amerika dan kurasa itu baik untuk keluarga.”
Kuanggukan kepalaku pelan dan mencoba tersenyum pada Kepala
Sekolah.
Kesempatanku untuk tinggal kurasa sangat sedikit. Usahaku untuk
mengelak kurasa tak akan berhasil kali ini, mengingat ibu menyuruhku
bukan lewat orang suruhannya seperti biasa melainkan langsung dirinya
sendiri datang ke sekolah.
“Nyonya pasti akan senang melihatmu kembali padanya. Jika dipikir dua
tahun tak bertemu pasti akan sangat berat baginya, mengingat kondisi
Nyonya yang tak memungkinkan untuk selalu mengunjungimu. ”
Kuhela napasku pelan sembari melirik wanita yang menampakkan muka
datarnya tanpa berani menatapku. Ibuku ini!
“Ne..” jawabku singkat.
Aku bangkit dari dudukku, merasa sudah cukup basa-basinya jika hanya
untuk menyeretku keluar dari sekolah ini. Kutundukkan kepalaku tanda
memberi hormat dan mulai melangkahkan kakiku keluar lalu diikuti oleh
beberapa pria berseragam hitam berjalan di belakangku. Momen ini,
sungguh aku tak menginginkannya.
Baru beberapa langkah berjalan, langkahku terhenti seketika. Semua
terasa tidak normal saat mata ini menatapnya, mata yang satu minggu
lalu mati-matian menghindariku. Mata sendu gadis yang berdiri tak jauh
dari tempatku.
Kuhela napasku pelan dan mulai memberanikan diri untuk kembali
melangkahkan kaki, mencoba tersenyum tapi kurasa bukan sebuah
senyuman. Mata itu memandangku dengan tatapan menuntut dan yang
kulakukan hanya menggeleng kecil sembari terus tersenyum.
Tersenyum, mungkin hanya itu yang bisa ia lakukan saat ini.
Kudekati dirinya masih dengan senyuman. Wajahnya sendu saat ini,
hampir menangis. Ku mohon jangan menangis karenaku nona.
Kutepuk sebelah bahunya, mencoba mengontrol perasaanku sendiri yang
sebenarnya tak bisa ku kontrol. Meninggalkan sahabatku ini, tak pernah
ku pikirkan sebelumnya.
Meninggalkan gadis ini, dalam mimpipun tak pernah kubayangkan.
Karena aku mencintainya. Mencintai gadis yang berstatus menjadi
temanku ini. Hanya karena status teman, aku membenci itu sekarang.
Gadis ini menggeleng pelan, membuatku ingin memeluknya saat ini juga
dan mengatakan padanya bahwa aku akan kembali, dan aku
mencintainya. Namun lidahku kelu, bernafaspun sekarang terasa sangat
sulit.
Dengan berat kulangkahkan lagi kakiku, mencoba meredam perasaanku,
meninggalkannya tanpa sepatah katapun. Jahat sekali kau Park
Chanyeol.
Kurasa aku akan benar-benar pergi, meninggalkan semuanya disini. Tapi
bukankah aku akan kembali. Menemuinya lagi.
Untuk berapa lama? Entah.
Bagaimana aku bisa hidup tanpa bersandar pada bahunya?
Entahlah. Setidaknya bumi tempatku berpijak masih sama dengannya,
oksigen untukku bernafas juga masih sama dengannya, dan perasaan
yang kupunya juga sa-
Ah, apa dia juga mencintaiku? Tentu, bukankah kami sahabat?
Biarkan dia mencintaiku sebagai sahabatnya, dan aku akan mencintainya
sebagai gadisku. Kurasa itu cukup adil.
“Chanyeol-ah!”
Langkahku terhenti deru napasnya mengusik gendang telingaku.
Kubalikkan badan dan menatapnya yang menatapku dengan sebuah…
bola basket?
Kukerutkan keningku, bingung dengan apa yang dia maksud. Perlahan ia
julurkan bola itu padaku dan membuatku mengambilnya, masih dengan
tatapan bingungku.
“Jangan pernah meninggalkan jejak apapun, sebelum kau meninggalkan
semuanya disini.”
Tubuhku menegang. Apa maksudnya? Apa dia pikir aku akan selamanya
pergi? Jangan bertindak konyol lagi, nona.
Kulihat bulir air matanya jatuh walau ia coba menghalau untuk tidak
menangis. Aku tahu gadis ini. Ia berbalik mulai melangkah menjauh.
Bahkan sampai detik ini tenggorokanku tak bisa kuandalkan dengan
baik.
“Ini belum berakhir.”
Aku ragu, suara sekecil ini munginkah dia mendengarnya. Oh ayolah
Park Chanyeol, kenapa kau jadi sepengecut ini sekarang.
Kulihat langkahnya terhenti. Dia mendengarnya?
“Aku akan kembali.”
Kalimat terakhirku sebelum aku bersiap memulainya. Ku lihat ia
menghela napasnya pelan, mengangguk dan melambaikan ketiga jarinya.
Dia mendengarku.
Dia berjalan menjauh, hingga aku tak melihat punggungnya lagi.
Punggung gadisku.
Sejenak aku masih terpaku memandanginya yang sudah tak terlihat. Jika
ia menangis, apa aku menyakitinya? Konsekuensi meninggalkannya
adalah dia akan membenciku seumur hidupnya, benarkah?
“Tuan Muda.”
Lamunanku terhenti, suara rendah itu memaksaku untuk keluar dari
imajinasiku tentang gadis itu.
“Arraseo.”
Benar-benar akan pergi sekarang, meninggalkan semuanya disini. Hanya
untuk beberapa saat.
Bukankah aku harus kembali?
Menjemput gadisku. Aku tak akan pernah lupa untuk yang satu ini.
Dan kalimat terakhirku itu, bisa kau pegang nona. Karena itu janjiku
untuk menemuimu lagi.
End ~